Jakarta,(Global)
Di antara sedikit peneliti ilmu fisika partikel di Tanah Air adalah Dr LT Handoko dari LIPI yang Senin (9/7/2012) lalu menulis di Harian Kompas tentang penemuan partikel subatomik oleh lembaga penelitian CERN (Conseil Europeen pour la Recherche Nucleaire/Pusat Riset Nuklir Eropa).
Semata berangkat dari temuan itu saja, terkesan betapa rumitnya topik fisika partikel yang membahas zarah kecil yang menyusun materi di alam semesta. Yang dibahas tak lagi pada dimensi atom, tetapi lebih kecil lagi.
Di masa silam, perihal atom jatuh sebagai wacana filosofis. Filsuf Yunani yang hidup di abad kelima SM sudah menyinggung bahwa materi disusun dari partikel komponen berukuran amat kecil. Teori pertama tentang atom dicetuskan filsuf Yunani lain, Leucippus. Dia menyebut bahwa semua hal terbentuk dari unsur tak bisa dibelah lagi yang disebut ”atom”, yang dalam bahasa Yunani diterjemahkan sebagai ’tak bisa dipotong’.
Karena itu, tatkala fisikawan dan kimiawan Inggris, John Dalton, menerbitkan teori atom dalam bukunya New System of Chemical Philosophy, sebenarnya ide dasarnya bukan baru. Yang membedakannya dengan apa yang dikemukakan oleh filsuf Yunani adalah bahwa apa yang dikemukakan Dalton didasarkan pada observasi dan pengukuran saksama, dan bukan atas debat filosofi (”The Big Idea”, National Geographic).
Partikel subatomik
Dari riset pendahulu seperti itulah, tahun 1920-an diketahui bahwa inti atom tersusun dari dua partikel, proton dan elektron. Tahun 1932, fisikawan James Chadwick menemukan neutron, partikel bermassa sama dengan proton, tetapi tidak memiliki muatan listrik. Semula dikira itulah semua partikel elementer, yakni proton, neutron, dan elektron.
Berikutnya, ilmuwan mengetahui bahwa elektron merupakan partikel fundamental, jadi tidak ada lagi penyusun lain. Akan tetapi, proton dan neutron terbuat dari partikel lebih kecil, yakni kuark. Ada enam tipe kuark, dan hanya dua yang terkait dengan proton dan neutron.
Selain itu, juga ada penemuan neutrino dari proses peluruhan. Ada pula penemuan positron (atau antielektron) oleh Carl Anderson tahun 1932. Partikel eksotik lain juga ditemukan dalam sinar kosmik, termasuk muon dan pion.
Satu hal yang dipahami adalah semua partikel subatomik di atas tak bersifat fundamental, dan para ahli fisika yang meneliti ini mencoba mengembangkan model standar antara tahun 1960 dan 1980. Akhirnya disimpulkan, ada dua kelas partikel elementer yang menyusun semua materi di alam semesta, yakni lepton (termasuk elektron, muon, dan neutrino) dan kuark (ada enam tipe dan bergabung dua, tiga untuk membentuk partikel lebih berat seperti proton, neutron, dan pion).
Lalu, menurut perilaku statistiknya, semua partikel di atas jatuh ke dalam dua kategori, fermion dan boson. Fermion (dari nama fisikawan Italia, Enrico Fermi) adalah kuark dan lepton yang membentuk materi, sedangkan boson (dari nama fisikawan India, Satyendra Nath Bose) seperti halnya foton dikaitkan dengan gaya. (Lihat, misalnya, The Story of Science–From Antiquity to the Present, RR Subramanyam dkk, 2010, untuk rincian.)
Akhir misteri
Keberadaan partikel Higgs—dari nama pencetusnya, fisikawan Inggris, Peter Higgs—sudah diramalkan pada tahun 1960-an. Ia, seperti dituturkan dalam infografis
Reuters yang menyertai
artikel Dr Handoko, penting untuk menjelaskan mengapa partikel lain memiliki massa, yang bila dirunut lebih jauh terkait dengan pembentukan alam semesta.
Ramalan menyebutkan adanya medan tak kasatmata—yang lalu disebut medan Higgs— yang menembus seluruh angkasa, dan bahwa sifat-sifat materi dan gaya yang mengatur seluruh eksistensi kita berasal dari interaksi mereka dengan medan Higgs yang gaib tadi. Kalau saja besar, atau sifat medan Higgs beda, sifat alam semesta pun akan berbeda dengan yang ada sekarang, dan boleh jadi kita juga tidak ada untuk mengagumi semua itu (tulis Krauss dalam Newsweek, 16/7).
Atas dasar inilah CERN memburu partikel ini dengan memanfaatkan fasilitas (Large Hadron Collider (LHC) dalam naungan Proyek ATLAS yang dimulai musim semi 2009.
Oleh misterinya, juga oleh kedudukannya yang dipandang sentral dalam penciptaan alam semesta, partikel Higgs ini lalu—dalam bahasa kolokial—sering disebut ”partikel Tuhan”, dan muncul dalam
buku fisikawan Leon Lederman yang terbit tahun 1994.
Penemuan boson Higgs seperti membenarkan revolusi dalam pemahaman manusia tentang fisika fundamental dan membawa sains lebih dekat dengan zat supernatural di awal alam semesta, tambah Krauss.
Medan Higgs juga dipandang mendukung anggapan bahwa angkasa yang kosong sebenarnya mengandung benih-benih eksistensi kita. Dalam teori inflasi semesta yang dicetuskan oleh Alan Guth, ada medan serupa yang tercipta pada saat paling awal setelah Dentuman Besar yang menyebabkan semesta mengembang luar biasa cepat dalam sepertriliunan detik, di mana setelah itu energi yang ada dalam angkasa yang sepertinya hampa itu diubah menjadi seluruh materi dan radiasi yang kita saksikan sekarang ini.
Penemuan partikel Higgs di satu sisi menambah wawasan tentang fisika partikel, tetapi juga lebih jauh tentang kondisi awal alam semesta, dan lebih jauh lagi tentang penciptaan alam semesta itu sendiri.
Dalam Science Illustrated (7-8/12) dikemukakan ”10 Pertanyaan Sekitar Dentuman Besar”, di antaranya (nomor 4) ”apa yang menyusun semesta?”. Penemuan partikel Higgs membantu menjawab pertanyaan itu.
Fisika berutang kepada sosok seperti Richard Feynman, yang 60 tahun lalu mengembangkan teknik kalkulasi untuk meramalkan luaran eksperimen (Scientific American, 5/12), atau pada Satyendra Bose yang partikel boson-nya kini populer, tetapi sosok penemunya jarang disebut (Newsweek, 16/7).
Semua upaya itu selain untuk memahami fisika juga ditujukan untuk meningkatkan derajat insani, yang senantiasa haus untuk mengetahui segala ihwal yang terkait dengan eksistensi dirinya. Dalam konteks ini bisa dipertanyakan, sejauh mana kontribusi ilmuwan Indonesia?.(Rgc-Kcm)
No comments:
Post a Comment